Bukan Hanya UU Penyiaran, Pondasinya Justru Kode Etik Jurnalistik

 


"Saya dapat adukan saudara masalah ini ya..," katanya ketus sekalian tutup telephone. Panjang lebar dia protes masalah photo plat kendaraannya yang tertangkap camera photografer kami, serta terpublikasi di majalah bikin.

Istilah Asing Dalam permainan Slot

Saat itu, kami sedang mengulas profile dokter muda yang sukses dengan usaha kecantikannya, kami juga ambil gambar terlihat depan dari klinik punya sang narasumber. Eh ternyata, ada mobil yang tengah parkir punya customer, rupanya masuk ke frame. Tanpa ada kita ketahui, materi ini juga naik bikin, yang ternyata sang empunya mobil terakhir tahu ini sesudah majalahnya tersebar. Sang ibu yang kemungkinan malu sebab diketahui ada di klinik kecantikan, menumpahkan emosinya membentak kami.


Sempat juga, satu gambar contoh yang kami tayangkan, sebab ukuran photo yang lain dengan ruang lay out, mengakibatkan gambar contoh itu terpotong, pemilik contoh itu juga protes. Serta saat masih duduk di kursi kuliah, seringkali media yang saya serta teman-teman keluarkan, dibredel. Tidak di perkenankan keluar sebab ada gambar yang dipandang tidak sopan.


Berikut sekelumit narasi yang saya buat dalam buku baru saya yang gagasannya berjudul Kontenologi, naskahnya telah masuk step design di penerbit Gramedia, tetapi terhalang sebab ada epidemi. Temanya meneruskan buku saya awalnya yang berjudul Make Your Story Matter (Gramedia, 2019). Narasi perjalanan saya serta teman-teman di kantor untuk pembikin content untuk publikasi bikin, dimana dalam prosedurnya, kami harus terbentur dengan beberapa ketentuan kebebasan seseorang yang perlu kami patuhi.


Baik Kontenologi atau Make Your Story Matter, menyorot masalah media sosial yang sebelumnya cuma untuk berjejaring ria, sekarang berperanan untuk basis media info seperti perusahaan wartawan (Saya katakan bertambah detail dalam artikel saya awalnya yang berjudul Sosial Media: Sebelumnya Berbunga-Bunga, Dibangkrutkan, serta Sekarang Coba Bangun Menungganginya). Berarti, tiap orang sekarang jadi jurnalis, menyampaikan kabar kabar sekalinya itu cuma berkaitan masalah kesehariannya, lewat media sosial.


Dalam perjalanannya, pemerintah selanjutnya membuat Undang-Undang Info serta Transaksi Elektronik (Electronic Information and Transactions Law), untuk jaga supaya content yang dipublikasi masyarakat, tidak kebablasan. Serta beberapa waktu ini, perubahannya semakin makin tambah meluas, menyorot UU Penayangan yang digagas teman-teman dari RCTI ke Mahkamah Konstitusi. Ini sama dengan protes transportasi (taksi) konservatif saat ada transportasi dengan basis online, atau pebisnis hotel sebab timbulnya service penginapan oleh masyarakat lewat basis digital.


Baik transportasi atau beberapa pebisnis hotel berasa tersaingi oleh ketentuan permainan yang tidak setimbang, dimana masyarakat yang dapat buka layanan dianya untuk pengemudi online, atau menyewakan kamar tempat tinggalnya untuk penginapan, tidak terserang ketentuan masalah pajak, atau ketentuan masalah sanitasi, atau keamanan berkendara serta beberapa peraturan yang lain diaplikasikan oleh perusahaan transportasi serta hotel konservatif. Sekarang ranah pertarungannya berubah ke perusahaan media, yang keberatan bila siaran dari beberapa pembikin content di basis over the teratas (OTT), -dalam ini media sosial atau perusahaan media service selingan dengan akses digital, dapat dengan bebas menghasilkan content tanpa peraturan yang batasi.


Buat saya pribadi, menulis buku Make Your Story Matter dimulai oleh kegelisahan ini, jika ketimpangan di antara social skills serta social alat mengakibatkan beberapa orang coba membuat content, -baik untuk share kesehariannya, juga untuk promo serta cari rejeki lewat media sosial, tanpa ada tahu rambu-rambunya.


Walau sebenarnya, ketentuan mainnya ada, supaya pesan yang kita komunikasikan lewat content yang kita produksi, sampai ke netizen yang lihat (mengonsumsi). Beberapa content yang dibikin tanpa ada ketentuan berikut yang malah dapat menghancurkan ekosistem digital di Indonesia. Pemanfaatan untuk siaran anak, pemakaian bahasa yang tidak cocok budaya timur kita, serta dengan terus-terang konsumsi produk ilegal, jadi sisi dari satu content yang aman saja asal tidak ada yang memberikan laporan. Serta langkah membuat bom juga, dapat kita dalami dari media sosial.


Itu penyebabnya, buat saya pribadi, service OTT bukan hanya ditata dalam UU Penayangan, tetapi tercatat dalam keanggotaan wartawan, sebab karakter content yang dipublikasi lewat service OTT sama dengan produk jurnalistik dari perusahaan wartawan. Dimana orang yang sampaikan kabar, seperti wartawan yang sampaikan warta. Karena itu ketentuan masalah kaidah, sedianya mengikat mereka. Kaidah wartawan kerja dengan 3 aturan, yaitu penelusuran kebenaran, layani kebutuhan publik serta meminimalkan penyimpangan privilege yang mempunyai potensi bikin rugi seseorang.


Postingan populer dari blog ini

Robert Murat

scientists really wish their examine assists potential scientists as well as clinical experts

DIGITAL FINGERPRINTS BOOST IOT DEVICE SECURITY